Kulihat, masih tetap
kulihat. Tak akan pernah bosan diri ini menatap sesosok gadis di hadapanku. Ia
tetap cantik meski kini ia tengah terbaring lemah dengan wajahnya yang pucat
pasi. Dalam ketidak sadarannya kuharap ada seseorang yang akan membangunkannya
dari tidur panjangnya. Siapapun orangnya, entah dia pangeran ataukah raja. Jika
memang bisa, kumohon tolong bangunkan putri ini. Namun sayang, ini bukanlah
dongeng putri tidur yang terbangun dengan sebuah ciuman tulus dari pangeran.
Ini kehidupan nyata dimana semua berbeda tak akan selalu seperti apa yang kita
inginkan. Tapi apapun itu, Tuhan selalu punya rencana baik untuk kita.
“aku
merindukanmu” mungkin sudah ribuan kali kuucapkan kalimat itu, dan aku yakin
dia mendengarnya walau tubuhnya tak bergerak sedikit pun. Aku memang
benar-benar merindukannya, sungguh sangat merindukannya.
Karunia tuhan begitu
deras jatuh dari langit ke bumi menahan laju kuda besiku, yang memaksaku
membelokannya ke sebuah warung sederhana, yang sore itu menjadi tempat favorit
orang-orang. Warung yang biasanya kulihat sepi kini ramai dengan para kaum adam
dan hawa. “ini memang karunia Tuhan” kataku dalam hati.
Hujan semakin deras,
namun aku tak boleh mengeluh, karena aku mencoba untuk tidak menjadi orang yang
kufur akan nikmat-Nya. Selalu ku kuatkan hati ini untuk selalu berhusnudzon kepada-Nya.
Walau dari tadi setan tak henti-hentinya mengatakan “it’s a bad day!” sebuah
kalimat yang mencoba menggoyahkan imanku.
Plak!!! Seseorang
menepak punggungku, tidak sakit namun cukup untuk mengagetkanku. “hey” ia
memanggilku. Suara itu? suara yang begitu akrab di telingaku, suara halus nan
merdu yang hilang sejak 2 Tahun yang lalu. Suara yang terakhir kudengar saat
perpisahan SMP dulu. “Apakah dia?” ucapku dalam hati. Ku putar tubuhku 180
derajat, dan kulihat ternyata memang dia “eh elo?” jawabku dengan senyum.
Gadis berkerudung,
berwajah cantik berkulit hitam manis. Gadis dengan bergigi behel. Gadis
periang, menyenangkan sekaligus menyebalkan. Gadis yang super cerewet, keras
kepala dan selalu mau menang sendiri.
Dialah Etsa, tepatnya
Etsa Dwi Febrian sahabat dekat sekaligus rivalku sewaktu SMP dulu. Tak disangka
tak diduga kami berdua bisa berjumpa kembali setelah beberapa tahun terpisah
karena kami melanjutkan sekolah ke sekolah yang berbeda. Dia masuk sekolah
Negeri dan aku masuk SMK. Sungguh sangat kebetulan kami berjumpa, tapi ya
menurutku ini bukan kebetulan, tapi memang ini sudah ditakdirkan tentunya ha ha
ha.
“gimana kabar lo?”
“baik”
Di bawah dekapan
derasnya hujan yang membasahi bumi, ku habiskan waktu sore itu dengan Etsa
sekedar bercerita mengenang kisah nostalgia kami berdua dulu, sampai tak terasa
langit mulai gelap dan hujan pun mulai reda.
Aku pun pamit pulang
padanya dengan membawa selembar kertas di genggamanku, sebuah kertas bekas
berisikan nomor hp Etsa yang ia sempat tuliskan untukku saat kami
berbincang-bincang tadi.
“dadaaah” pamitku
padanya dan ia membalas dengan senyumannya yang khas itu.
“tiiit, tiiit, tiiitt”
Hp milikku berbunyi
keras membangunkan tidur siangku, hp jadul dengan merek Motorola yang selalu
kutaruh di samping kepalaku saat aku tidur. Ku ambil dan kubuka pesan yang
masuk dengan mata yang masih agak berat untuk dibuka.
From: Etsa
0812214xxxxx
Jam 3 Jangan lupa
tempat biasa, aku tunggu
Beginilah semenjak
pertemuan ku dengan Etsa. Aku menemukan kembali seniman yang pandai melukis
hati ini. Melukis kisah baru dalam buku yang lama. Kisah persahabatanku
dengannya menemui kelanjutannya.
Sekitar pukul 15.00 WIB
aku sampai di taman tempat dimana sering kami habiskan waktu berdua. Sebenarnya
itu bukanlah sebuah taman melainkan lebih mirip sebuah kebun yang di hiasi
banyaknya bunga mawar yang tumbuh disana.
Kulirik jam tangan
kulitku, waktu menunjukan pukul 15:05 namun tak kunjung jua kulihat sosok yang
kutunggu. Tak biasanya dia terlambat seperti ini. Apalagi dia yang membuat
janji.
Sembari menunggu, ku
berjalan menuju sebuah pohon besar yang tak begitu jauh, entah pohon apa
namanya, Etsa bilang itu adalah pohon Mahoni yang ditanam kakeknya dulu. Cikal
bakal tempat yang akan selalu aku kunjungi setiap bulannya terutama pada awal
ramadhan dan idul fitri. Kupandangi tulisan pada pohon itu “aku kamu sahabat”.
Kami menulisnya sekitar 4 tahun yang lalu saat pertama kalinya aku main ke
Istana miliknya yang akhir-akhir ini sering aku kunjungi, terutama pada akhir
pekan sekedar untuk bersilaturahmi dengan keluarga besarnya. Dia membawaku ke
tempat ini waktu itu, menunjukan makam kakek dan neneknya yang terletak sekitar
20 meter ke arah selatan dari pohon itu.
Sudah tiga puluh menit
berlalu dia tak juga datang, hatiku mulai kesal, namun aku berusaha tetap sabar
menunggunya
Empat puluh menit, Lima
puluh menit, hampir satu jam aku menunggunya, dia masih belum hadir disini.
Baiklah kuberi waktu lima menit lagi.
Lima menit pun berlalu,
dengan hati yang kesal kulangkahkan kakiku untuk pulang.
“heeeyyy tunggguuu”
suara itu menghentikanku. Suara yang begitu akrab di telingaku namun terdengar
lemah. Suara Etsa. Aku berbalik, kulihat seuatas senyum tersimpul di wajah Etsa
yang pucat. Ia berlari ke arahku dan tiba-tiba ia memelukku dengan erat. Seumur
hidupku baru kali ini aku dipeluknya.
“ma…ma…maafin aku?” ia
menangis sejadi-jadinya “kamu pasti marah kan sama aku?” “Please maafin aku?”
Kurasakan butiran air
mata hangat basahi bajuku, ku hanya terdiam mematung keheranan. Seorang Etsa
yang periang menangis di pelukanku. Kenapa dengannya? Tak biasanya ia seperti
ini? Apa ia ada masalah?
“Nggak sa… gak apa-apa”
“nggak ada yang perlu di maafin”
ku tarik tubuhnya dari
dekapanku, dan ku usap air mata yang mengalir dari pelupuk matanya kurasakan
dingin saat ku sentuh pipinya.
“emang kamu kemana dulu
sa?”
“emmm… anuu…
tt.ttadiii…”
“tadi kenapa?” potongku
sambil kutarik duduk di bangku tempat kami biasa duduk disana.
“tt…ttadiii…”
“ya udah kalo gak mau
di omongin gak apa-apa, yang penting sekarang kamu udah ada disini” kembali
kupotong karena aku sungguh tak tega melihat wajahnya yang sedih.
Tak ada banyak canda
seperti biasanya yang kami lakukan. Hari ini memang serasa berbeda. Dia hanya
diam dan terus bersandar di pundaku. Ingin kutanyakan akan hal itu namun sekali
lagi aku tak tega melihatnya yang begitu nyaman bersandar di bahuku.
“udah berapa lama kita
jadi sahabat?”
Sebuah pertanyaan yang
membuyarkan lamunanku tentangnya.
“sekitar 4 tahunan sa,
emangnya kenapa?”
“kamu mau berjanji satu
hal gak sama aku?”
“boleh… apa sih yang
nggak buat kamu”
“iiihhh.. aku serius.”
“iyaa.. aku juga
serius, dua rius malah”
“kamu harus janji kalo
kamu akan selalu menjadi sahabat terbaikku”
Pinta Etsa padaku
dengan menyodorkan jari kelingkingya.
“iyaaa… aku janji deh,
aku bakalan selalu jadi sahabat terbaikmu”
meskipun dalam hatiku,
aku mengharapkan hubungan yang lebih daripada sahabat. Dan Kukaitkan
kelingkingku pada kelingkingnya.
“Makacih yaaaaa” ucap
dia dengan suaranya yang manja di hiasi senyuman lesung pipitnya yang begitu
manis
Waktu menunjukan pukul
17:25 kami pun akhiri pertemuan hari ini, tak lupa kuantarkan dia pulang ke
rumahnya. Sesampai di rumahnya dia memberikanku sebuah kado yang isinya
gantungan kunci berwarna pelangi bertuliskan “Happy birthday”. Gadis ini masih
saja ingat ulang tahunku, padahal aku sendiri lupa akan ulang tahunku.
“kamu sayang gak sama aku?”
Tanya dia padaku tiba-tiba.
Entah apa maksud dari kata sayang itu, sayang sebagai sahabat atau apa.
“ya… Sayang lah” jawab
aku singkat sembari mengambil kue nastar buatan tante Sarah mamanya Etsa. Kue
yang selalu tersaji di hadapanku setiap kali aku bermain ke rumahnya Etsa.
Tak lama kemudian dia
bersandar di bahu kiriku, kedua tangannya menggenggam erat tangan kiriku.
“jangan sedih ya.. kamu
harus kuat, tegar dan ikhlas. Jangan mudah di permainkan perasaan, apabila
cintamu hilang akan ada jutaan cinta lainnya yang datang”
Aku hanya diam seribu
bahasa mendengar perkataan itu dari mulutnya. Entah mengapa ia mengatakan hal
seperti itu. Sungguh sangat aneh. Apa dia punya kekasih?, apa dia tahu kalau
aku mencintainya sehingga ia mengatakan hal itu agar aku tahu bahwa cintaku bertepuk
sebelah tangan?, atau apa?
Kulepaskan genggaman
tangannya yang hangat itu, ku bangunkan dia dari sandarannya, ku pegang kedua
pundaknya dan ku tatap kedua bola matanya dalam-dalam.
“lo ngomong apa sih gue
gak ngerti?” ia hanya membalasnya dengan senyuman. Ya… senyuman itu, senyuman
yang akhir-akhir ini sering kulihat. Senyuman yang berbeda dari
senyum-senyumnya yang biasanya.
Hari-hariku berubah 180
derajat. Kini hari-hariku di selimuti dengan kebosanan. Tiada semangat untuk
jalani hari. Sebulan lebih aku hidup seperti ini semenjak hari itu. Hari dimana
aku kehilangan sahabatku. Seperti ditelan bumi dia hilang tanpa kabar. Rindu
bercampur kekesalan kurasakan padanya. Beribu pesan kukirimkan padanya lewat
sebuah sms, namun tiada balasan darinya. Hingga yang terakhir pesan yang
kukirim seminggu lalu, sebagai puncak kekesalanku, ku maki dia dalam pesan itu.
Sering ku pergi
mengunjungi rumahnya, sekedar mencari tahu kabarnya. namun sayang, selalu saja
tak ada siapapun disana, kutanya tetangganya namun tiada yang tahu kemana
keluarga Pak Mahmud itu pergi. Kemana mereka?. Apa mereka pindah? Mungkin ini
jawaban perkataannya waktu itu. Tapi apa benar ia setega itu meninggalkanku
tanpa mengucapkan pamit terlebih dahulu. Teman macam apa dia. Sebegitu sulitnya
kah hanya untuk berpamitan.
Sampai pada akhirnya
datang seorang gadis mencariku ke sekolah. Gadis itu menungguku sejak 30 menit
yang lalu di warung tempat biasanya aku menghabiskan waktu sebentar dengan
teman-temanku sebelum aku beranjak pulang.
Gadis itu berdiri dari
tempat duduknya menghampiriku langsung saat melihatku keluar dari sekolah. Aku
kaget melihatnya, kesal dan senang pula melihat gadis itu. Dia adalah Lyra,
seorang gadis berkulit putih dengan rambutnya yang lurus sebahu, dia adalah
siswi SMP berusia 14 tahun, dia adiknya Etsa.
“Lyra..?kemana aja
kalian?aku cari…”
“kaaakk…” ia memotong
pertanyaanku dengan nada yang agak tinggi. Dan sontak aku pun terdiam.
“iya kak entar aku
jelasin.. sekarang kakak ikut lyra” suaranya begitu pelan terdengar
“kemana?” tanyaku heran
“nanti juga kakak
bakalan tahu..”
Akhirnya akupun ikut
dengan lyra menaiki mobil toyota hitam entah milik siapa, karena setahuku
keluarga Etsa tidak mempunyai kendaraan berupa mobil. Dengan ribuan tanda tanya
di kepalaku, aku mencoba untuk tetap tenang dan seperti kata lyra, nanti juga
aku akan tahu.
Entah karena cape atau
karena kebingungan ini aku pun terlelap di dalam mobil. Sampai akhirnya lyra
membangunkanku karena kami sudah sampai tujuan. Entah berapa lama aku tidur aku
tidak peduli yang jelas aku ingin segera tahu sebenarnya apa yang terjadi. Kami
tiba disebuah rumah sakit. Ya.. rumah sakit Sari Asih. Tanya dalam pikirku,
siapa yang sakit? Apakah…? Ah tak mungkin. Perasaan tak enak menghampiriku.
Namun aku coba tuk mengacuhkannya
Kami pun menuju sebuah
ruangan namun seseorang yang sudah agak tua menahan kami agar kami tidak dulu
memasuki ruangan tersebut. Dia adalah pak Mahmud, ayahnya Etsa dan Lyra.
Wajahnya begitu khawatir seperti orang yang mendapat kartu jelek ketika
berjudi. Pak Mahmud mengatakan bahwa di dalam masih ada dokter yang sedang
memeriksa.
Tak lama kemudian
dokter pun keluar dan mempersilahkan masuk bagi yang mau besuk maksimal dua
orang. Saat itu aku dan lyra yang masuk. Kaget bukan main saat kulihat sosok
yang terbaring itu. Seakan aku tidak percaya dia adalah Etsa sahabatku. Kenapa
ia bias seperti ini. Dengan segera aku menghamprinya, ku pegang tanganya dan ku
elus dahinya.
Ku tatap lyra “kak Elza
sakit apa?” tanyaku padanya. Namun lyra hanya diam. Lyra hanya memberikanku
sebuah buku yang dia ambil dari tas hitamnya itu, sebuah buku berwarna biru
dengan poto aku dan Etsa di depan jilidnya yang di atasnya bertuliskan Diary.
“aku tak sangup
mengatakan yang sebenarnya, sebaiknya kakak baca diary itu dan kakak akan tahu
apa yang sebenarnya terjadi pada kak Etsa” ucap Lyra padaku
Tak lama Tante Tuti dan
Ibunya Etsa masuk. Aku dan Lyra keluar agar bisa bergantian menjenguk Etsa.
Di luar aku duduk
bersama Lyra dan keluarga besarnya yang lain. Dan mulai kubuka lembaran buku
diarinya Etsa. Mataku mulai panas menahan air mata saat kubaca lembar demi
lembar yang hampir 75 persen berisi semua kenangan aku dengannya. Sampai
akhirnya aku sampai pada halaman dimana air mataku tidak bisa kutahan dan kusembunyikan
dari keluarga besar Etsa. Air mataku deras meluncur ke pipiku. Rasanya seperti
mimpi buruk saja Etsa mengidap penyakit kanker otak stadium akhir dan dokter
memvonis umurnya tidak lama lagi. Langsung kututup buku itu, tak sanggup untuk
ku teruskan membacanya
Lyra memegang pundakku
mengisyaratkan agar aku harus tetap tabah.
“sebenarnya kak Etsa
melarangku memberitahu kakak emm… ia terlalu takut kalau kakak akan sedih Mungkin
aku sudah melanggar janjiku pada kak Etsa, tapi bagaimanapun juga kakak harus
tahu, karena kakak adalah sahabat terdekatnya kak Etsa.” Perkataan lyra itu
semakin membuatku sedih. Apa benar ini terjadi pada sahabatku Etsa? Gadis yang
selalu Nampak ceria dihadapanku.
Kuputuskan malam ini
untuk menginap disini. Ku kabari keluargaku kalau aku tidak akan pulang hari
ini.
Kulihat lagi wajah itu.
Namun tak ada senyuman yang biasa kulihat. Sebagai sahabat dekatnya aku merasa
kecewa dengan diriku sendiri yang tidak pernah tahu akan hal ini. Bahkan aku
menuduhnya tak setia saat ia menghilang. Tanpa kutahu dia sedang berjuang dari
komanya.
Kenapa Tuhan? kenapa
bukan aku saja yang terbaring disana? kenapa mesti dia? Aku tahu Kaulah
pemliknya. Tapi apa harus sekarang kau mengambilnya? Aku tahu ini takdirMu tapi
tak bisakah Kau rubah takdirMu ini? Ingin sekali aku marah padaMu Tuhan. Namun
apa daya aku terlahir sebagai hambaMu. Mana mungkin aku bisa mencaciMu.
Waktu menunjukan jam
sebelas malam aku dan tante Sarah masih tetap terjaga melihat sang putri tidur
ini. Suasana yang begitu hening. Hanya suara pendeteksi jantung yang terdengar
ramaikan suasana. kembali kupegang tangannya. Berharap dia segera sadar dari
tidur panjangnya. Tanpa kusadari aku pun kembali meneteskan air mata.
“sa ayo bangun sa!!
Tidur kok kaya kebo. Cepetan sa kita pergi ke tempat biasa sa.. kamu janjikan
mau ngajarin aku bahasa inggris, sa… ayo doong jangan ngerjain aku kayak gini..
gak enak tahu..” tetap saja tak ada jawaban darinya.
Suara adzan shubuh
berkumandang. Begitu indahnya terdengar. Lebih indah dari melodi-melodi yang
dimainkan oleh para gitaris terkenal di dunia. Kusempatkan membasuh diri dengan
tetesan air wudhu. Ku berjalan menuju rumahNya. Kan ku adukan semuanya yang
kurasakan dalam untaian do’a yang kupanjatkan setelah kulaksanakan perintahNya.
Berharap ada keajaiban yang terjadi hari ini.
Tenang rasanya setelah
kuadukan semuanya. Kembali kulangkahkan kakiku menuju ke ruangan itu. Terdengar
suara gemuruh langkah kaki dari belakangku. Kutengok dan kulihat beberapa
perawat berjalan tergesa-gesa. Mereka brjalan mendahuluiku. Kenapa mereka?
Terus saja kulihat mereka yang ternyata menuju ke sebuah ruangan. “Astaghfirullahalladzim”
itu ruangannya Etsa
Tanpa pikir panjang aku
berlari mengikuti mereka. Sampailah aku disana.
“ada apa Tante?”
tanyaku pada ibu Etsa.
“dokter sedang
memeriksanya” ucap ibu Etsa. Walaupun kutahu ibu Etsa membohongiku agar aku
tidak terlalu khawatir. Tapi mana mungkin aku tidak khawatir sementara kulihat
raut wajah semua keluarga besar Etsa Nampak panik.
Hatiku mulai cemas. Ku
berdo’a, bukan hanya aku tapi semuanya yang ada disana berdo’a dan berharap
semua akan baik-baik saja.
Dokter pun keluar dari
ruangan tersebut. Seperti halnya di film sinetron ketika dokter ditanya, ia
hanya menghela nafas dan menggelengkan kepalanya. Kami tahu apa artinya. Sontak
aku dan Lyra berlari ke dalam.
Langkah kami terhenti
saat dua orang perawat menahan kami, kami lihat suster di sebelah sana tengah
mencabut dan membereskan infuse yag terpasang di lengan Etsa.
Ya… aku tahu betul apa
yang sedang terjadi saat ini. Inikah jawaban do’a ku Tuhan? Sebegitu hinakah
diriku dihadapanMu sehingga Kau tak mengabulkan do’aku? Jika ini hanya mimpi,
kumohon cepat bangunkan aku!
Ingin ku segera
menghampiri sahabatku, ingin kugenggam tangannya, ingin kupeluk tubuhnya, namun
apa daya dua orang perawat sialan ini menghalangiku.
Lyra menangis keras, ia
memelukku erat. Air matanya membasahi bajuku. Aku tahu apa yang Lyra rasakan.
Namun apa yang harus aku katakan pada Lyra untuk menghentikan tangisannya
sedangkan aku sendiri tak bisa menahan tetesan air mataku sendiri yang mengalir
tanpa komando. Aku terdiam seribu bahasa, ludahku terasa pahit, tenggorokanku
kering. Potongan-potongan episode saat aku bersama dia bermain dalam memoriku.
Bagai film yang tengah diputar pada layar besar, begitu cepat. Gambaran
kebersamaanku dengan Etsa teramat jelas terlihat dalam anganku. Haruskah semua
kenangan indah itu berakhir sampai disini? Ingin sekali ku berteriak sekencang-kencangnya
namun aku tetap berusaha tabah, seperti yang dikatakannya aku harus kuat, aku
harus ikhlas walau tak dapat kupungkiri hati ini begitu pedih kehilangannya.
Entah sudah berapa lama
aku disini. Memandangi pohon besar ini. Pohon tua besar yang menjadi saksi
persahabatanku dengannya. Pandanganku tak luput dari tulisan di pohon itu.
Tulisan yang masih ada karena sering kuperjelas tulisannya setiap kali ku
datang ke tempat ini.
Ku arahkan langkahku
menuju selatan, dimana terdapat 3 makam yang salah satunya makam dia sahabatku,
berjejer rapi dengan dua makam lainnya milik kakek dan neneknya. Selalu
kupanjatkan do’a disini setiap bulannya sebagai permintaan maafku padanya yang
belum sempat aku sampaikan semasa hidupnya dulu.
“rajin banget kak kesini?”
suara itu mengagetkanku, suara lembut yang asing di telingaku. Kulirik orang
itu, “Subhanallah” wajah itu… begitu miripnya.
“lyra?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar